Anggota DPR RI yang menjabat 2 periode dr. Karolin Margret Natasa berharap agar pengembangan jasa wisata alam di hutan produksi dapat bersinergi dengan Badan Usaha Milik Desa. Keterlibatan masyarakat di Desa melalui BUMDes dinilai akan lebih optimal dalam pengembangan industri wisata tersebut. Karolin berpesan semoga hutan tetap terus terjaga kelestariannya dan yang terutama adalah bagaimana pengembangan jasa wisata alam ini berprinsip memanusiakan manusia Indonesia.
Hal tersebut diaampaikan Anggota DPR RI dapil Kalbar dr. Karolin Margret Natasa, ketika menjadi pemateri pada Workshop Dalam rangka sosialisasi Permenhut No. P.31/ Menlhk/ Setjen/ Kum.1/3/2016 tentang Pedoman Kegiatan Usaha Pemanfaatan Jasa Lingkungan Wisata Alam Pada Hutan Produksi , serta dalam mengupayakan pemahaman dan persepsi yang sama diantara para pihak terhadap peluang dan potensi pengembangan usaha jasa lingkungan wisata alam di kawasan hutan produksi.
Workshop tersebut dilaksanakan Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat bekerjasama dengan Direktorat Jenderal Pengelolaan Hutan Produksi Lestari KLHK, Yayasan WWF Indonesia, dan The Borneo Invinity, dengan tema “Pengelolaan Hutan Lestari dan Pengembangan Jasa Wisata Alam di Hutan Produksi” di Hotel Mercure Pontianak, Rabu (27/07). Hadir sebagai narasumber, Anggota DPR RI Komisi IX, dr. Karolin Margret Natasa, Gubernur Kalimantan Barat, Drs. Cornelis, MH, Dirjen PHPL KLHK, Dr. Ida Bagus Putera Parthama, M.Sc, Direktur IJIHHBK, Ditjen PHPL KHLK Ir. Gatot Subiantoro, M.Sc, Dan Perwakilan dari World Wide Foundation Indonesia di Kalimantan, Chairul Saleh.
Dalam perjalanan sebagai Anggota DPR RI selama 2 periode, Karolin mengakui bahwa seringkali berbenturan dengan berbagai persoalan terkait kehutanan. Beberapa hal yang harus menjadi perhatian dalam pengelolaan hutan produksi. Diantaranya adalah bagaimana pemanfaatan hutan produksi yang efektif, efisien, dan berkelanjutan.
Menurut Karolin, paradigma baru adalah bagaimana memanfaatkan hutan produksi sebagai industri pariwisata yang bermanfaat bagi negara dan rakyat. “Hutan produksi seperti yang telah disampaikan oleh Dirjen PHPL KLHK bahwa bukan hanya berorientasi pada produksi kayu yang dikelola oleh koorporasi-koorporasi semata tetapi tujuan akhirnya adalah bagaimana cara mempertahankan seluas-luasnya wilayah hutan tersebut sehingga bermanfaat bagi rakyat, bagaimana hutan ini ” dijual” sebagai industri pariwisata tanpa merusak ekosistem yang hidup didalamnya dan manfaatnya bisa dirasakan oleh negara dan masyarakat yang berada disekitar kawasan hutan tersebut,” ujar Anggota Komisi IX DPR RI ini.
Menurut Politisi PDI Perjuangan ini, pembinaan masyarakat di sekitar kawasan hutan dinilai masih kurang dan masih diperlukan keterlibatan semua pihak bagaimana agar masyarakat terlibat dalam proses konservasi. Potensi yang ada di Kalimantan Barat yang bisa di kelola jasa wisatanya meliputi sungai, danau, air terjun dan hutan yang luasnya hampir 8 juta hektar atau sekitar 57% dari luas wilayah Kalimantan Barat.
Kawasan tersebut kata Karolin lagi, pasti memiliki sumber mata air yang dapat dimanfaatkan untuk masyarakat sekitar. Permasalahan yang ada saat ini adalah ketersediaan air bersih bagi masyarakat dan sering dilupakan akses terhadap air bersih tersebut. Ketersediaan air bersih bagi masyarakat Kalimantan Barat saat ini masih jauh dari kata ideal. Kompas merilis data dari Kementerian bahwa 68% sungai di Indonesia dikategorikan tercemar berat.
Karolin berharap dalam kerja sama lintas sektoral yang dilakukan untuk pengembangan jasa usaha wisata kedepannya harus melibatkan kepentingan masyarakat sekitar kawasan khususnya ketersediaan air bersih, perlindungan terhadap sumber-sumber air bersih dan fasilitas terhadap air bersih tersebut.
Penyerapan tenaga lokal dalam rangka pengembangan industri wisata harus menjadi prioritas. Secara teoritis mudah diucapkan oleh semua pihak dan dinilai dalam pelaksanaannya pasti ada kemauan tetapi sulit dalam memberikan pengertian dan merekrut masyarakat di sekitar kawasan. “Ketika Bapak dan Ibu datang membawa investor dengan menawarkan industri pariwisata kepada masyarakat lokal, belum tentu masyarakat akan menyambut dengan antusias. Masyarakat dipedalaman hidup sebagai surviver, bertahan hidup melawan kerasnya alam, bertahan terhadap arus modernisasi tidak akan mudah menerima hal-hal yang baru.”pungkas karolin.
0 comments:
Post a Comment
Peringatan: berilah komentar yang sopan, komentar yang tidak sopan tidak akan kami publish!