8:30:00 PM
0
Adalah Alqur’an menyebutkan bahwa  Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling takwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal ” (QS Al Hujarat 49:13). Tidak berlebihan jika penulis berusaha bersikap positif dan apresiatif atas Rancangan Perda yang telah diinisiasi oleh Balegda DPRD Provinsi Kalbar, yang selanjutnya dibahas bersama-sama multistakeholder publik untuk disahkan menjadi Paraturan Daerah (PERDA) definitif bagi Kalbar. Roh Raperda tsb tidak jauh dari pengakuan dan perlindungan kita warga khususnya Kalbar untuk saling tolong menolong, saling membantu, saling menghormati dan saling menghargai, serta saling berkasih sayang diantara mereka, layaknya berkasih sayang terhadap dirinya sendiri(baca:taqwa). Bukan yang berlawanan dengan premis itu. Bahkan di Provinsi seperti Kaltim dan Riau Perda ber-aroma sejenis telah disahkan beberapa tahun lalu. Konstitusionalitas mandat UUD 1945 pasal 18B agar menghormati masyarakat hukum adat. Sayang, persiapan pemerintah pusat atau daerah jika menihilkan upaya ini. Penataan Rekognisi dan Proteksi MHA/Masyarakat tertentu (baca: Keraton/kerajaan) melalui identifikasi, verifikasi dan validasi oleh “panitia” MHA untuk membuka pintu kesahihan masyarakat adat untuk mendirikan atau memakmurkan desanya, yang kemudian berhak mengelola ribuan hektar hutan desa dan tanah ulayat (baca: Hak Komunal atas tanah).
Sosialisasi RAPERDA PPMHA mulai dari grass root hingga ke khalayak umum strategis untuk dilakukan tentunya setelah membaca Naskah Akademik & Subtansi sistematika Raperda tsb. Mengutip sistematika PPMHA Kalbar terdiri dari Konsideran (Menimbang; Mengingat; Menetapkan); BAB I Ketentuan Umum (1 pasal dgn 27 per definisi istilah); Bab II Asas dan Tujuan (2 pasal dgn butir a s/d h asas dan a s/d e tujuan); Bab III Ruang Lingkup dan Kedudukan Masyarakat Hukum Adat (3 pasal dgn 4 ayat); Bab IV Wilayah Adat (3 pasal dgn 6 ayat); Bab V (Hak dan Kewajiban Masyarakat Hukum Adat – Bagian Kesatu- Hak atas Tanah, Wilayah dan Sumber Daya Alam (4 pasal dgn 4 ayat); Bagian Kedua- Hak Atas Pembangunan (1 pasal dgn 4 ayat); Bagian Ketiga- Hak Atas Spiritual dan Kebudayaan (2 Pasal dgn 2 ayat); Bagian Keempat- Hak Atas Lingkungan Hidup (2 pasal dgn 4 ayat); Bagian Kelima- Hak Untuk Menjalankan Hukum dan Peradilan Adat (2 pasal dgn a s/d k kewajiban MHA) ; Bab VI Tanggung Jawab Pemerintah Daerah- Bagian Kesatu- Tugas (7 pasal dgn 2 ayat); Bagian Kedua- Wewenang (1 pasal dgn a s/d e wewenang pemda) Bab VII Penyelesaian Sengketa (4 pasal dgn 2 ayat); Bab VIII Pembiayaan (1 pasal) dan Bab IX Ketentuan Penutup (1 pasal). Ayat-ayat dalam Raperda ini merupakan pengejahwantahan kita melindungi masyarakat adat (baca: Dayak dan Melayu) lokal kalbar jangan sampai menjadi korban sebagaimana masyarakat Aborigin di benua Australia atau Indian di benua Amerika yang menjadi warga “kelas dua” di negerinya sendiri akibat kalah daya saing dengan “imigran” yang masuk
Dalam Badan legeslatif DPRD sosialisasi di tahapan Pansus masih terdapat pro dan kontra serta abstain (wait and see). Saat ini masih ada 6 sesi untuk membahasnya dengan mengundang stakeholder terkait Hearing (Dengar Pendapat) nya. Bocoran copy dan naskah akademik sdh mulai ditanggapi oleh beberapa pihak luar, walaupun tahap ini pemprov belum bisa berkomentar karena belum resmi disampaikan Raperda ini ke pihak Gubernur sebagai eksekutif untuk pertimbangan, pembahasan ulang dan proses lebih lanjut sampai konsultasi ke kemendagri.
Kegelisahan, Sosiolog Ivanovich agusta (2016) menjelaskan bahwa Hambatan rekognisi berpangkal pada prasangka masyarakat adat sebagai komunitas pengelola sumber daya secara tertutup (closed corporate community). Mereka tak pernah membutuhkan masyarakat modern atau masuk program komunitas adat terpencil. Menyetarakan kehidupan mereka dengan yg primitif dan kuno tanpa KK (Kartu Keluarga) atau bukti dokumen surat perkawinan yg dicetak ala formalitas pemerintah. Selanjutnya Clifford Geertz meramalkan involusi adat bergeser sekedar mencapai komunitas pasca-tradisional, yaitu gerak melingkar yang tak kunjung sampai pada kadar masyarakat modern. Pangkal kesalahan kebijakan terhadap adat, yaitu memegang teguh kebenaran tunggal. Bahwa upaya memanusiakan komunitas adat hanya mungkin melalui jalan tunggal memajukan wilayah ke arah perkotaan modern ala barat. Eksistensi hanya bisa muncul kala jadi modern, maka adat selalu menjadi cacat yang lain (the other). Seharusnya modal komunitas pengelola sumberdaya secara tertutup justru menjadi bekal kemandirian ekonomis, sementara aturan adat menopang kekuatan praktis norma hukum setempat.
Kegelisahan lainya: Kekhawatiran akan masa depan Kalbar yang dimonopoli kekuasaan oleh satu suku tertentu. Hal ini berkaitan dengan krisis “keharmonisan antar etnis” sehingga ketidakmampuan sipil dalam melakukan konsolidasi politik. Kegelisahan ini tampak dengan adanya surat dari Majelis Adat tertentu lain yang meminta penyusunan Raperda ini tidak diteruskan dan tidak disahkan menjadi PERDA definitif. Kegelisahan ini mungkin disebabkan karena ketiadaan informasi yang cukup dan valid. Sehingga terkesan konfrontatif dan dapat dianggap sangat tidak mendasar. Gagasan Perda ini adalah menghadirkan negara untuk melindungi hak-hak rakyat semestinya didukung dengan peraturan perundangan-undangan yang dalam proses penyusunannya melibatkan berbagai pihak, satu dan lain hal untuk memperoleh pandangan yang lebih obyektif dan komprehensif terkait subtansi yang diatur. Kurangnya pemahaman terhadap materi muatan yang sudah dirumuskan dalam Raperda ini dapat dipertajam dan diasah kembali melalui Sarasehan Ilmiah Terbuka dengan melibatkan para pakar dibidangnya sehingga dimungkinkan adanya muatan/ tawar menawar kepentingan tertentu dan dalam proses penyelesaian perancangannya tidak tergesa-gesa.
Penutup, Kristalisasi Raperda PPMHA oleh DPRD provinsi Kalbar adalah sebagai upaya melakukan unifikasi hukum adat menjadi hukum nasional menjadi sangat terbuka. Dalam memperjuangkan pemulihan dan perlindungan hak-hak konstitusionalnya, masyarakat hukum adat menganut 4 prinsip, yaitu a) berwawasan NKRI; b) kebersamaan dalam pemecahan permasalahan masyarakat hukum adat; c) berdaya guna dan berhasil guna; d) berkeadilan dan berkekuatan hukum. Keputusan MK No 45/PUU-IX/ 2011 tentang kawasan hutan maupun keputusan MK No 35/PUU-X/ 2012 menyatakan bahwa hutan adat bukan hutan negara memberikan implikasi bagi upaya kelola konflik kehutanan bagi kesejahteraan masyarakat. Terdapat 3 perspektif dampak. Pertama, terbukanya ruang negosiasi baru melalui proses penataan batas dan pengukuhan kawasan yang mengakomodasi hak-hak tenurial masyarakat desa hutan. Kedua, terbangunnya posisi hukum adat yang sejajar (equal) dengan hukum positif formal. Dasarnya, hutan adat bukan lagi berada dalam yuridiksi hutan negara.Ketiga, upaya unifikasi hukum adat melalui instrumen Peraturan Daerah sebelum terbitnya UU tentang pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat. Ketiga perspektif di atas membuka lebar upaya mewujudkan resolusi konflik kehutanan untuk kesejahteraan masyarakat

0 comments:

Post a Comment

Peringatan: berilah komentar yang sopan, komentar yang tidak sopan tidak akan kami publish!