Tujuh anak kayau menari menjinjing tengkorak manusia hasil kayauan, menghunus tangkitn (sejenis parang untuk berperang) mengelilingi Bawar yang berdiri kokoh di tengah-tengah pelataran rumah adat tempat ritual Notokng. Tangkitn adalah sejenis parang sebagai senjata Mengayau di masa lampau sedangkan Bawar adalah sebuah menara setinggi dua meter yang dihias bendera kain dan pabayo, di tengahnya disimpan tempayan besar ditutup talam atau pahar, di atasnya dihias replika enggang raksasa mengarahkan kepalanya ke timur dan di atas badan enggang itu disimpan sesaji untuk sang Panyangahatn melakukan ritual mempersembahkan sesajinya kepada Jubata.
Di sudut kanan rumah adat berdiri kokoh pula menara yang disebut panca tempat tengkorak hasil kayauan diberi sesaji berupa darah binatang dan berbagai sesaji lainnya. Rumah menara panca berukuran kurang lebih satu meter, muat untuk dua orang panyangahatn memberikan sesaji kepada tengkorak hasil kayauan.
Acong Alapan (40) menjelaskan, dalam tradisi Dayak Kanayatn Landak, ngayau artinya berusaha mengalahkan atau menguasai musuh. Jenis kayo atau kayau sendiri ada dua dalam sejarah Dayak Kanayatn, pertama kayau sejati yaitu musuh didatangi di tempat tinggalnya dengan ksatria.
Sementara kayau sosok yaitu dilakukan secara tipu muslihat atau diam-diam, namun yang ini kata Acong tidak dilakukan di Dayak Kanayatn karena dianggap tidak ksatria.
Malam itu, senin (7/7) dilakukan ritual Notokng di dusun Simpang Pasir desa Sidas Kecamatan Sengah Temila, Landak, hadir Gubernur Kalbar Cornelis bersama Ny Frederika Cornelis, anggota DPR RI dr. Karolin Margret Natasa bersama suami, wakil Bupati Landak H. Heriadi.
Acong Alapan asal Sengah Temila pengamat ritual Dayak Kanayatn menuturkan, Gawai Totokng atau Notokng dilakukan setelah berhasil dalam mengayau. Menurut Sutomo (52) salah satu anak kayauan asal gombang Sengah Temila, Gawai Totokng biasanya dilakukan satu kali satu keturunan selama tujuh kali berturut-turut atau 3 tahun sekali sesuai kemampuan, namun jaman dahulu Totokng untuk pertama kali dilakukan setelah pulang mengayau selama tujuh hari tujuh malam.
Acong menjelaskan, Gawai Totokng itu untuk menghargai dan menghormati para pengayau yang berhasil membawa pulang kepala musuh, “ini bentuk penghargaan kepada para pengayau, namun di satu sisi untuk menghargai kepala musuh yang sudah dibunuh dan mempersilakan rohnya tinggal dengan tenang di alam baka,” terang Acong.
Lanjut Acong, kepala musuh yang sudah menjadi tengkorak itu diletakan di atas Pahar, sebuah penghargaan terhadap musuh yang dikalahkah, “peletakan tengkorak kepala di atas pahar merupakan penghormatan kepada musuh yang dikalahkan dan kita yang menang tidak berbuat semena-mena, roh musuh diberi sesaji,” kata Acong.
Pada ritual Totokng pun dilakukan pemberian sesaji pada roh halus dan hantu pujud sarinteke agar kembali baik-baik ke tempatnya masing-masing.
Dipaparkan pria gondrong itu, enam hal utama dalam acara gawai Totokng pertama untuk menghormati ksatria pengayau dan pimpinannya diangkat dan dinobatkan dengan gelar pangalangok. Pangalangok artinya orang yang mampu memikul beban tanggung jawab membela masyrakatnya dari bentuk penindasan, penguasaan pihak luar.
Seorang pangalangok kata Acong adalah orang yang berperilaku baik dan jujur, cerdas berhati mulia dan membela kebenaran dan keadilan. Yang bisa diambil dari Totokng atau Notokng ini kata Acong pada saat sekarang bagaimana kita meneladani pangalangok dalam mempertahankan hak, harkat dan martabat dalam memperjuangkan kepentingan bersama. sumber: beritakalimantan.co
0 comments:
Post a Comment
Peringatan: berilah komentar yang sopan, komentar yang tidak sopan tidak akan kami publish!